Politik Asmara Mataram

Ketika Majapahit surut (tahun 1527), Jawa menjadi daerah chaos dan tidak mengenal satu kekuasaan tunggal. Walisongo mulai turut meramaikan pengaruh di pesisir Utara dan Pasukan Portugis telah telah mendarat di Sunda Kelapa. Keadaan kacau balau, perang tidak terelakkan untuk merebut kekuasaan tunggal hingga pulau Jawa bermandi darah. Daerah-daerah merdeka pun bermunculan dan menjalankan sistem demokrasi desa diantaranya adalah Tanah Mangir dengan penguasa Ki Ageng Wanabaya. Saat bersamaan, Ki Ageng Pamanahan (Sutowijaya) berhasil sepenuhnya menaklukkan kerajaan Pajang dan mendirikan kerajaan Mataram Islam yang berpusat di Kota Gede (Sekarang Yogyakarta) dengan menobatkan anaknya Panembahan Senopati menjadi Raja (1575-1601).

Waktu terus berlalu dan hegemoni Mataram makin lama semakin tak terelakkan, hampir seluruh Jawa yang dulu menjadi kekuasaan Majapahit satu satu ditaklukkan. Namun wilayah merdeka di Mangir seperti slilit (kotoran di gigi) atau bahkan duri di dalam daging bagi Mataram, mengingat luas Mangir hanya kecil dan berada dalam kantong kekuasaan wilayah Mataram, ibarat Jerusalam atau Kosovo, dalam sudut pandang geopolitik kondisi ini akan mengganggu hankam dan kewibawaan Mataram. Berbagai ultimaltum agar membayar upeti sebagai tanda kesetiaan kepada Mataram selalu ditolak mentah-mentah, karena tanah Mangir yang dulu di bawah Majapahit, sekarang menjadi tanah merdeka dan tidak ada kewajiban tunduk kepada siapapun.

Ki Ageng Wanabaya memiliki senjata pusaka yang sangat dahsyat yaitu Tombak Baru Klinthing yang terbuat dari seekor lidah naga yang dibubuhnya saat melingkar di gunung Merapi, jika tombak yang sangat sakti itu diarahkan pada siapa saja, maka kematian yang akan terjadi. Bahkan Tombak Kyai Pleret yang menjadi andalan Mataram pun tidak mampu menandingi.

Konflik tidak terelakkan, terlebih lagi janji Ki Ageng Pamanahan kepada Joko Tingkir (Sultan Hadi Wijaya) untuk menguasai sepenuhnya bekas kekuasaan kerajaan Pajang, hingga Ki Ageng Pemanahan memerintahan kepada Panembahan Senopati untuk menyuruh anaknya yaitu Pembayun melaksanakan misi intelejen yang sangat rahasia menyamar menjadi seorang penari. Berkedok sebagai penari tayub akhirnya mampu meluluh-lantakkan hati, wanabaya dibuat kasmaran habis-habisan, lalu mengangkat menjadi istri.

Sebuah perkawinan rekayasa yang dibuat oleh Mataram dalam rangka menghancurkan kekuasaan Mangir dan daerah-daerah lain yang turut membantu Mangir. Asmara senantiasa memabukkan, dalam kondisi demikian Wanabaya tak mampu menjernihkan daya pikirnya, larut oleh rasa berahi dan cinta. Maka, lelaki keras dengan tubuh tegap sentosa itu pun dengan mudah diperdaya.

Pada suatu kesempatan pembayun melaksanakan tugasnya, mengusap tombak pusaka sakti baru klinthing dengan sampur sonder ikat pinggang ledek. Di saat tombak pusaka sudah berkurang kesaktiannya, bertepatan pula dengan kehamilan Pembayun, maka mengakulah bahwa sebenarnya dirinya putri mahkota anak panembahan senopati. Dengan berat hati, Ki Ageng Wanabaya melaksanakan permintaan agar sungkem ke mertua ke Mataram. Di saat sungkem, Kepalanya ditatapkan ke batu gilang oleh Panembahan Senopati. Seketika itu Ki Ageng Wanabaya menemui ajalnya. Setelah kejadian tersebut, Senopati mengangkat Mangir menjadi menantu untuk memadamkan pemberontakan.

Jenazahnya separo dimakamkan, di luar batas pemakaman Kotagede dan separo di dalam sebagai simbol status pemberontak dan status menantu bersama Batu Gilang yang membekas lekukan oleh dahi Ki Ageng Wanabaya. Sedangkan pusaka tombak baru klinthing kini tersimpan di Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Di sisi lain, Pambayun yang sejatinya cinta mati dengan rival ayahnya itu tak mampu menahan kata hatinya, sampai pada detik-detik menjelang pertempuran pasukan Mangir melawan Mataram. Tahun 1581 Tanah Mangir menjadi kekuasaan Mataram sepenuhnya.

Namun para setia Ki Angeng Mangir tetap berucap:

”Tak disangka, Pambayun, dalam keindahan dadamu yang membusung itu ternyata kau simpan juga beribu laknat tanpa akhir. Tak kusangka bibir elok itu menjadi tempat bersemayam berjuta lebah dengan sengatnya. Kenapa dulu kau hiasi leher jenjangmu dengan kupu-kupu bersayap pelangi?”

32 pemikiran pada “Politik Asmara Mataram

  1. mirip kisah simson & delilah
    ini cerita sejarah campur legenda kan?
    tombak dr lidah naga itu apa benar ada, soalnya naga kan cuma hewan mitologis kayak burung api phoenix

    oke juga kalo cerita ini dibikin novel yg ada unsur sejarahnya, seperti novel mahabharata karya nyoman s pendit:)

  2. Dalam cerita ‘Mangir’ karya Pramoedya Ananta Toer, Baru Klinthing yang dalam sastra lisan merupakan tombak, dihidupkan oleh Pram sebagai manusia. Ia memang selalu menyertai ke mana pun Ki Ageng Wanabaya pergi.

    Apa maksud dari itu semua? Pram ingin mengajak masyarakat Indonesia berpikir rasional dan meninggalkan cara berpikir irasional.

    Bahwa ada pola politik asmara seperti itu, ya. Memang demikian. Namun tetap: cara berpikir rasional tetaplah mesti dikedepankan. Sehingga kita bisa melihat Indonesia ke depan secara rasional pula.

    BTW, Putri Pambayun memang cantik kok, Mas Aryo. Hehehe!

  3. Kalau zaman dulu…. penyelesaian persoalan politik dengan jalan pernikahan adalah hal yang lumrah, bukan hanya di Indonesia sini namun juga di seantero dunia.

    Bagaimana dengan sekarang? Apakah masih cukup dengan cara pernikahan?? Sepertinya sekarang pandangan masyarakat telah berubah bukan saja terhadap perkawinan/asmara itu sendiri tetapi juga terhadap politik, hak azasi manusia dan lain sebagainya.

    Contohnya: Kini pemimpin kini dipilih secara demokratis, sehingga taktik asmara atau pernikahan menjadi sia-sia jika pemerintahan berganti.

    Dulu, orang dapat memaksakan perkawinan terhadap anak2nya apalagi untuk tujuan politik. Kini pernikahan dan asmara sudah dianggap sebagai hak azasi manusia dan tidak bisa dipaksa-paksa.

    Sistem multipartai juga menyebabkan taktik asmara dan perkawinan ini sebagai penyelesaian politik atau konflik menjadi lebih sulit lagi dilaksanakan karena lawan politik di dalam negeri akan melihatnya sebagai taktik dan keuntungan lawan politiknya bukan keuntungannya.

    Pokoknya masih banyak lagi yang lain yang menyebabkan orang berkata “jangan coba2 lagi menjalankan politik cinta di zaman ini” Huehehehe…….

  4. @ Mang kumlod
    Kalau sudak mabuk maka lupa daratan mang.

    @ Nita
    Ini cerita ilmiah *enak aja dibilang legenda* huehehe. Novel kelihatan sudah banyak diantara Pramoedya. Pementasan magir di theater2 juga sudah sering. Kalau sinetron kliatannya belum. Hehe.

    @ Daniel
    Sebenarnya titik letak rasional atau tidak kan pada kronologis yang sebenarnya. Sejarah mangir hanya sebagian kecil saja yang nampak dan sudah tidak murni lagi, seperti postingan di atas. Banyak sekali motif-motif yang ditutupi dalam kronologis tersebut, dan yang paling banyak yang ditutupi dalam sejarah pada kurun waktu setelah keruntuhan majapahit, di masa itulah masuknya hegemoni motif penyebaran ajaran keagamaan yang banyak memakan korban dan tetesan darah masyarakat yang setia pada majapahit. Entahlah, kalau salah mohon dikoreksi.

    @ Sigid
    Mungkin sekarang lebih banyak dibidang bisnis, mau jadi artis harus tidur dulu dengan produser, atau supaya tender gol kirim saja wanita untuk menghibur. Bisnis jadi lancar pak Sigid, huehehe.

    @ Yari NK
    Ini dulu pak Yari, sekarang sudah berubah, malapetaka yang terjadi jika politik asmara sampai terungkap, jadi santapan lezat kalangan pers huehehe. Namun kelihatannya jaman sekarang lebih banyak untuk mencari keuntungan bisnis, bagaimana jika video atau foto mesum anggota DPR sebagai alat komoditas politik, misalnya.

    @ Ulan
    Wah ulan larinya ke sex *hiks*

    @ Mantan kiai
    Iya pak, gitu hehe

    @ Abdee
    Nah ini yang saya masih binggung pak Abdee, Panembahan senopati itu Mataram di Kotagede? atau di Bantul? Nah dalam kronologis Mangir ini bersetting berdirinya Mataram Kotagede, banyak versi.

    @ Elys
    Wah sama bu elys, saya juga belum pernah melihat, kupu-kupu dalam arti yang sebenarnya pun sudah sulit ditemui di kota Semarang ini.

    @ Arifrahmanlubis (tidak terposting)
    Pak Arif, kelihatannya ada yang bikin jahil deh ke email bapak, komen ketangkep oleh akismet. Makasih pak telah berkunjung, salam kenal dari saya, ditunggu komen-komen selanjutnya di sini.

  5. sungguh, harta, tahta, dan wanita, sering jadi sumber konflik dan perpecahan, pak aryo. sang pembayun ternyata sukses memperdaya ki ageng wanabaya melalui aroma tubuh dan pesona penampilannya. wah, postingan yang bagus banget, pak aryo, mengingatkan saya bahwa sejarah tanah jawa selalu berlumuran darah. semoga kekerasan dan darah semaca, itu cukup hanya jadi “fosil” dalam sejarah dan tak berlanjut pada peradaban masa kini.

  6. hemmmm…wanita memang sungguh hebat, dibalik lemah lembutnya dia bisa menjadikan laki-laki perkasa apa saja. jadi ingat, dibalik seorang laki-laki hebat dan sukses, ada seorang wanita luar biasa disampingnya… *bangga sayah* 😀

  7. Tetap akhirnya wanita dijadikan alat. Jadi ada sedikit kerancuan, dimana pameo harta, tahta,wanita dijadikan alasan sebagai sebuah kehancuran bangsa. Setidaknya ada keikutsertaan pria berfikiran picik yang menurutkan egonya saja, sehingga dengan (terpaksa) wanita menjadi tumbal untuk kebodohan pria2 tersebut. Semoga Pria Indonesia masa kini tidak demikian adanya..

  8. @ Sawali
    Dari dilihat dari perjalanan nusantara ini mulai dari kerajaan-kerajaan di jaman dulu, hingga bahkan sekarang pada setiap pergantian regim, selalu saja memakan korban jiwa dan tertumpah darah. Betul pak Sawali, cara-cara dengan kekerasan itu yang tidak boleh terulang kembali, jangan lestarikan budaya kekerasan lagi dan pupuk perdamaian serta solidaritas.

    @ Achoey
    Iya pak Achoy, cerita asoy si Pembayun yang aduhai dapat meluluk lantakkan Ki Ageng Mangir.

    @ Mysepty
    Betul mbak, sebagai seorang wanita harus bangga, tanpa wanita maka pria tidak ada artinya, hidup tidak menjadi meriah. Bukankah kemajuan peradaban ini disebabkan karena adanya wanita, huehehehe.

    @ Kishandono
    Hanya sekedar re-info saja kok pak, mengulas tulisan-tulisan dari penulis yang lebih dulu menulisnya.

    @ Ubadmarko
    Betul pak, wanita dan pria adalah dua sisi yang tidak dapat terpisahkan, bahkan di dalam motif yang paling primitif di miliki oleh setiap organisme adalah lawan jenis. Maka disegala bidang selalu mewarnai termasuk politik.

    @ Iis
    Wanita dan pria dua jenis manusia yang tidak terpisahkan. Dalam konteks ini Pembayung menjadi alat, namun bukankah Ki Mangir mengalami lebih tragis. Jadi posisi alat, manfaat, dan korban silih berganti tempat. Kalau menurut saya dalam kontek yang luas, justru pria yang lebih banyak diperalat dan menjadi tumbal wanita. Ya tergantung kasus per kasus juga bu Iis.

  9. hmmphh.. cinta tuh buta yah kata orang.. saking cintanya sampai gak tau kalo wanita yang dicintai tuh lagi undercover.. 😦 btw tuh masutnya separo dimakamkan tuh setengah didalam setengah diluar? *g mudeng* waduuh.. ada kayak gitu? 😡

  10. @ Italina89
    Iya mbak, memang sejarah indonesia

    @ Shaleh
    Hiks, Asrama bagian dari Asmara.

    @ Dee
    Kalau dalam pelajaran di sekolah, hanya secara umum saja sejarah mataram, majapahit, dsb. Namun untuk membahas skandal2 asmara ya tidak cukup waktunya.

    @ Ronggo
    Apakah pak ronggo punya pengalaman? Kalau saya pernahnya ditolak wanita. Wkwkwkw.

    @ Jane
    Setengah nisan di dalam komplek pemakaman, setengah nisan di luar pemakaman, begitu mbak. Kalau ada waktu main ke Kotagede, tapi jemput saya ya, hehehe.

    @ Gelandangan
    Dalam konteks ini, malah yang menjadi tumbal ya Ki Ageng Mangir, Pembayun juga menjadi tumbal.

    @ Ersis
    Kan berkat EWT pak ersis.

    @ Zoel
    Kok pak zoel tahu, wkwkwk.

    @ Daniel
    Masih ada kerjaan yg harus dikerjakan je, namun sekarang sudah rampung.

Tinggalkan Balasan ke italina89 Batalkan balasan