Daya Adaptasi

Perubahan berjalan semakin cepat dan akan melibas apa saja seperti logos menggantikan mitos dan secara tegas menelanjangi tabir mitologi. Pada era itu timbul reaksi para penganut status quo sontak menyebut sebagai era “the death of god” (“crisis of theology”).

Perubahan yang begitu cepat ini menyebabkan “culture shock” bagi orang yang sulit berkompromi dan melakukan tawar menawar dengan modernitas. Dalam situasi ini tidak heran kemudian muncul satu dua gerakan dari kalangan status quo yang gerah dengan mencoba formula reform mitologi gaya baru yaitu neo-ortodok agar lebih harmonis dengan perkembangan kekinian.

Munculnya neo-ortodok membuat peta friksi menjadi tiga kubu yaitu logos, mitos, dan ditambah dengan neo-mitos. Namun hampir tidak ada satu celah pun untuk penganut neo-ortodok dari kaum ortodok, senjata paling ampuh adalah dalil kebenaran dan kesucian.

Tidak selamanya mitos itu jelek, namun ketika diimplementasikan pada konteks riil dan teknis akan berubah menjadi proses pemistikan. Ini menjadi ujian sejauhmana daya adaptasi suatu ajaran dapat menyesuaikan diri pada perkembangan jaman, karena tidak akan mungkin perkembangan jaman yang menyesuaikan dengan suatu ajaran, sama halnya dengan nasib peradaban mesir, yunani, samawi, dan telah digantikan dengan jaman posmo digital sekarang ini.

Dua poin penting yaitu: Pertama, jalin kompromi, mitos menjadi inspirasi makna hidup dan logos menjadi peroblem solving teknis dan praktis. Kedua, bongkar gaya hipokrit paradigma kebenaran, karena hanya ingin merasa benar menjadi penyebab tragedi berdarah. Terlalu naif jika tidak mengakui bahwa merasa paling benar sejatinya proses ”displacemant” dari motif berkuasa yang serakah dan egois. Tidak perlu malu merubah paradigma kebenaran menjadi paradigma kebajikan.

19 pemikiran pada “Daya Adaptasi

  1. wah, postingan yang pendek, tapi berat, pak aryo, hewhehehe 😀 karena berkaitan dengan paradigma sebuah perubahan. orang2 yang pto-status quo, terutama yang berkaitan dng kultur dan tradisi, pasti akan menganggap bahwa mitos merupakan teknik pemaknaan sebuah realitas hidup yang bersandar pada tanda2 dan fenomena alam, sebaliknya, merka yang antistatus quo akan berpandangan bahwa mitos tak lebih dari sebuah mistifikasi realitas yang harus didobrak. ketika situasi peradaban sedang dalam kondisi anomi, jalan yang terbaik memang siperlukan daya adaptasi utk melakukan konvergensi antara mitos dan logos itu.

  2. Saya suka. Jadikan mitos sebagai inspirasi makna hidup dan logos menjadi peroblem solving teknis dan praktis. Berpikir sederhana tapi tarik nilai-nilai yang menggugah kemnusiaan. Toh hidup ini (menurut saya) tidak lebih dari belajar memaknai keadaan yang menimpa kita.
    Dan selalu merasa benar seyogyanya yang paling dihindari. Sebagaimana saya pernah mendengar pepatah “orang yang cerdas adalah orang yang selalu ingin belajar”. Kalau selalu merasa benar, buat apa belajar?

  3. Hmmm…. sulit….. manusia memang diciptakan berwarna-warna. Ada yang kolot (pro “status quo” yang nggak maju2), ada yang ‘modern’ (sangking modernnya tapi modern-nya nggak pake otak juga sehingga hanya mengekor saja), ada yang modern namun tidak pernah “membuang” sepenuhnya hal-hal yang “kuno” karena memang yang kuno belum tentu buruk, dan jikalau belum ketemu “pengganti” yang modern, yang “kuno” masih bisa digunakan.

    Kalau masyarakat modern yang demokratis, terserah deh, mau pilih yang mana, yang penting tentu tidak boleh ada nilai-nilai pemaksaan. Merasa paling benar (untuk kelompok tertentu) ya boleh2 saja, toh kita selalu merasa bahwa pandangan kita adalah yang paling benar kalau kita tidak hipokrit, namun hendaknya dikemukakan secara internal saja dan tidak boleh digunakan sebagai alat yang sah untuk pemaksaan….. :mrgreen:

  4. […] Daya Adaptasi Perubahan berjalan semakin cepat dan akan melibas apa saja seperti logos menggantikan mitos dan secara tegas menelanjangi tabir mitologi. Pada era itu timbul reaksi para penganut status quo sontak menyebut sebagai era “the death of god” (“crisis of theology”). Perubahan yang begitu cepat ini menyebabkan “culture shock” bagi orang yang sulit berkompromi dan m […] […]

Tinggalkan komentar